Sering Jadi Sumber Konflik, Sebaiknya Warisan Dibagi Saat Orangtua Masih Sehat

Ketua Umum DPP HBB (Horas Bangso Batak) berniat menggelar seminar mengenai pembagian warisan, dirangkai dengan pembahasan soal 'sinamot'.

topmetro.news – Terjadinya beberapa peristiwa konflik terkait warisan, menjadi perhatian praktisi hukum, Lamsiang Sitompul SH MH. Bahkan Ketua Umum DPP HBB (Horas Bangso Batak) ini berniat menggelar seminar mengenai pembagian warisan, sekaigus membahas soal ‘sinamot’. Karena ternyata, ‘sinamot’ juga berkaitan dengan warisan.

“Karena sering menjadi konflik, maka Horas Bangso Batak menjadi tertarik menggelar seminar tentang warisan ini. Juga sekaligus dengan pembahasan ‘sinamot’ dalam Adat Batak,” kata Lamsiang Sitompul SH MH, kepada topmetro.news, beberapa waktu lalu.

Khusus mengenai warisan, kata dia, tidak ada salahnya, kalau orangtua melakukan pembagian, saat masih sehat. Hal itu, lanjut dia, akan mencegah terjadinya konflik di antara anak-anak nantinya, ketika orangtua sudah tiada. Karena bagaimana pun, orangtua tentunya tak ingin anak-anaknya menjadi saling serang karena harta peninggalan.

“Barangkali ada rasa sungkan pada si anak untuk mempertanyakan warisan. Lalu bisa juga si orangtua merasa didoakan cepat meninggal karena diteringati soal warisan. Atau merasa masih mampu mengelola, sehingga menunda. Tapi roda Bumi berputar dan tidak ada yang tahu apa yang terjadi esok. Sehingga menurut saya, memperjelas status warisan saat semua masih sehat dan berpikiran jernih, adalah sebuah tindakan bijak,” urainya.

“Dan dalam pembuatan wasiat itu, kumpul semua keluarga berikut ‘tulang’ dan semua turut menandatangani. ‘Tulang’ juga ikut tanda tangan. Jangan pelit lah sama ‘tulang’ kita, supaya makin banyak berkah. Selanjutnya bawa ke notaris. Sehingga di kemudian hari, persoalan soal harta tak ada lagi, karena semua sudah jelas dan semuanya ikut tanda tangan,” sambung Lamsiang.

Intinya, kata dia, membagi warisan sebelum orangtua meninggal bukan lah semua kesalahan. “Dan tak perlu sungkan. Sebab sudah banyak contoh bagaimana sebuah keluarga berantakan gara-gara harta,” sebutnya.

Bahkan, kata Lamsiang, bagi yang berpikiran maju, andai memang punya perusahaan yang lumayan besar, bisa saja mereka serahkan secara profesional pengelolaannya. “Dan anak-anak hanya bisa mendapat bagian sesuai saham berdasarkan kesepakatan sebelumnya. Dan perusahaan tidak bisa diganggu,” katanya.

Pesan dan Warisan

Lebih jauh Lamsiang menambahkan, bahwa wasiat orangtua tersebut, sebaiknya jangan membahas hanya soal pembagian warisan saja. Tapi juga memuat pesan-pesan yang bisa jadi pegangan bagi anak-anaknya kelak.

“Jadi ada ‘tading-tading tu arta’. Jelas pembagiannya. Kalau ada kesepakatan perempuan dapat bagian, silahkan. Cucu juga dapat, silahkan. Semua sesuai kesepakatan. Lalu wasiat juga memuat pesan-pesan kepada anak-anaknya dan pinomparnya. Semua ikut menandatangani. Hadir kepala desa dan dibawa notaris dan berkas itu kemudian dibagi ke semua yang tanda tangan,” imbuhnya lagi.

Selain soal warisan ini, Lamsiang Sitompul melihat, perlunya membuat semacam ‘buku keluarga’. Isinya soal pesan dan petuah (tona dan poda), serta mengenai tarombo (silsilah) keluarga.

“Masukan untuk ‘tarombo’, ada baiknya juga masuk unsur boru (perempuan). Selama ini lazimnya selalu laki-laki yang tertulis. Sebaiknya perempuan juga ikut, lengkap dengan siapa nikah dan asal mana suaminya. Demikian juga dengan laki-laki, lengkap disebut menikah dengan boru apa dan asal dari mana. Sehingga semua keturunan saling tahu, bahwa ada amangborunya dari kampung sini. Ada tulangnya dari kampung sana. Diusahakan sampai beberapa tingkat ke atas, semampu yang bisa diingat,” tuturnya.

“Semua turi-turian (cerita), angka tona (pesan), dan poda (petuah) juga ditulis dalam buku. Dan ini diturunkan kepada anak dan keturunannya,” tutup Lamsiang Sitompul.

reporter | Radja P Simbolon

Related posts

Leave a Comment